Pengalaman berharga mungkin kata yang lebih tepat
untuk menggambarkan liburan kami di hari Minggu (20/8). Kenapa harus mengganti
sudut pandang dari kata saya menjadi kami? Karena liburan itu dijalani oleh dua
orang yaitu saya daaaaaan…………partner saya, sebut saja Statham. Bermula dari
keinginan saya melihat salah satu jembatan terpanjang sebagai penghubung pulau
Jawa dan Madura. Suramadu!!!! Yep, bahkan sudah bertahun-tahun jembatan itu
berdiri dan dijadikan sebagai objek background
selfie di beberapa akun instagram, namun belum sekalipun saya menginjakkan kaki
disana.
Nyatanya hingga kini saya juga belum menginjakkan kaki
disana, sebab pada jalur tersebut terdapat larangan berhenti kepada setiap
kendaraan bermotor. Sayapun bersama Mr. Statham, juga cuma lewat sembari
menikmati semilir angin laut yang kala itu cukup keras, dengan mengendarai
sepeda motor. Hitung-hitung membayar keinginan tamasya ke pantai yang belum
terealisasikan, begitu ujarnya dengan tertawa cukup keras yang hanya kuhadiahi
pukulan manja (sebelum melanjutkan membaca coba siapkan tempat sampah, berjaga
jika ingin muntah).
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang,
sampailah kami pada penghujung jembatan namun rencana menjadi berkembang.
Madura memiliki tempat wisata yang sedang nge-hits tanpa saya menyebutkan tempatnya, kalian pasti sudah
menjawabnya dalam hati bukan? Bukit Jaddih, tepat sekali – seandainya saya
seorang pengajar maka tak segan untuk memberikan nilai 100 pada kalian.
“Rugi lho udah sampe sini gak sekalian ke Bukit
Jaddih, dulu kita pengen kesini belum keturutan,” terang Mr. Statham dengan
menolehkan kepalanya kebelakang.
Berhubung euphoria liburan masih terasa dan kurang
puasnya mengelilingi Bandung (Siapkan mental, nanti saya bukain lapak sendiri
mengenai liburan ke Bandung) di awal Agustus lalu, akhirnya sayapun
meng-iya-kan ajakannya. Lagipula jarak yang ditempuh juga tidak terlalu jauh,
terlebih jika melewati jalur alternatif yang relatif jarang dilewati kendaraan.
Sekitar 20-25 menit kami sampai di lokasi tujuan, awal masuk rasanya cukup
takjub dengan sajian goa kapur dan danau berwarna hijau.
Pic 1: Keudikan seorang gadis diawal kedatangannya di Jaddih |
Cukup membayar Rp 5000,- kita bisa masuk ke tempat
wisata tersebut, tak ingin hanya melihat bagian depan saja kami coba naik lagi,
eh ada tarikan lagi Rp 5000,-. Disini saya mulai kesal, karena belum liat
apa-apa udah main tarik duit aja. Selain kesal, rasa kecewa rasanya lebih
mendominasi, pasalnya apa yang saya liat tak sesuai dengan ekpektasi. Beginilah
efek dari beberapa editan instagram yang begitu memukau, nyatanya tempat
tersebut terkesan “sangat biasa saja” sorry not sorry. Tapi sedikit berpikir
positif, kemungkinan foto yang terpajang di instagram dengan hashtag
bukitjaddih diambil oleh fotografer professional dengan angle yang cukup bagus.
Singkat cerita, setelah kami beranjak keatas, yang
terlihat hanyalah truk-truk besar yang mengangkut (?) kapur, bahkan tak ada
pemandangan menarik lagi. Kamipun memutuskan untuk turun, dan masuk ke tempat
yang terlihat paling manusiawi di lokasi tersebut, kalau gak salah baca namanya
Goa Pote. Dengan sedikit keahlian jeprat jepret foto, seolah lokasi tersebut merupakan
lokasi privat yang kami sewa untuk bulan madu (hentikan delusional ini).
Berhubung perjalanan kembali ke Surabaya masih panjang dan baterai hape Mr.
Statham kritis dan milik saya tinggal 50%, akhirnya kami memutuskan untuk
pulang.
Drama yang sebenarnya dimulai saat perjalanan pulang,
di depan pintu keluar Wisata Bukit Jaddih terdapat dua jalur ke kanan dan ke
kiri. Sebelum mencapai pintu keluar, terdapat tulisan besar semacam banner pada
salah satu tebing di sebelah kanan semacam peringatan untuk waspada akan adanya
begal di daerah sekitar. Mr. Statham yang fokus dengan kemudinya tentu tidak
memperhatikan tulisan tersebut, sedangkan saya sebagai pihak yang duduk tenang
di jok belakang, membaca peringatan itu. Namun dengan kemampuan otak yang kala
itu mungkin sedang rendah, sedikit kuhiraukan, bahkan pertanyaan dari Mr.
Statham tentang tulisan yang saya baca hanya terjawab dengan kata “oh enggak,
lanjut aja,”
Tak ingin mengakhiri hari lebih cepat, kami berkendara
cukup santai melewati hutan, kebun dan rumah warga yang sangat jarang disana.
Sembari mengobrol menikmati pemandangan hijau yang sangat jarang sekali
didapatkan di daerah perkotaan. Namun ketenangan tersebut harus terusik, saat
satu motor dengan dua pengendara diatasnya mengganggu jalan kami, dan berjalan
cukup dekat bisa dikatakan bersebelahan dengan kami. Tak hanya itu, tas yang
sengaja kubawa dibelakang punggung ditarik oleh mereka dengan begitu keras,
sehingga membuat tubuh saya otomatis tertarik kearah mereka. Sontak ingatan
saya tertarik pada peringatan di Bukit Jaddih tadi, dan berkata pada Mr.
Statham jika keduanya adalah kawanan begal.
Blam!!! I don’t
know what I am supposed to do… dan
saya hanya bisa mengeratkan pegangan pada saku jaket Mr. Statham. Kedua kawanan
begal tadi masih terus mencoba untuk memojokkan serta meneriaki kami dengan
bahasa yang sama sekali tidak kupahami. Mendadak Mr. Statham berhenti
memastikan bahwa tas yang kubawa tidak berpindah tangan sekaligus menanyakan
keduanya tadi sempat melukai saya atau tidak. Disaat motor yang kami tumpangi
berhenti, begal tadi tidak memperkirakan dan mereka tetap berjalan dengan
kecepatan awal sehingga kami sedikit tertinggal. Sadar buruannya tertinggal
dibelakang, begal tadi memutarbalik kembali menghampiri kami, dan berjalan pada
trek yang benar (jalur kiri). Sehingga posisinya kini yang bisa kalian
bayangkan adalah kami ada di seberang begal tadi, dengan si begal terus
melancarkan umpatan yang mungkin berupa ancaman karena demi kaki Smeagol, saya
tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
Begal yang posisinya dibonceng mengeluarkan senjata
yang saat itu membuat saya sedikit ketakutan, namun jika diingat sekarang
membuat ingin tertawa. Mangga muda, senjata yang mereka bawa untuk melumpuhkan
mangsa, kami hanya sempat memandang mereka namun tak ada keinginan sedikitpun
untuk menyerah. Sebelum begal tadi sempat melemparkan senjata andalan kearah
kami, Mr. Statham segera menginjak pedal gas (istilah kalau pakai mobil) untuk
menyelamatkan diri yang pertama dari timpukan manga muda kedua keberingasan
begal Madura.
Keberuntungan rupanya belum berpihak karena ban motor
yang kami tumpangi bocor, namun kami bertemu dengan bapak pemilik bengkel yang
bersedia mengantar ke tukang tambal ban. Stereotipe awal mengenai keburukan
suku Madura seketika sirna saat kami dengan dengan bapak Aziz, si pemilik bengkel
tadi. Bahkan saat kami “mengucapkan terima kasih”, beliau hanya mengatakan iya
sambil berpesan agar kita lebih berhati-hati terutama di daerah rawan tersebut.
Intinya kami selamat dari begal amatiran yang mungkin
kala itu sedang magang dan kami yang mereka jadikan sebagai objek percobaan.
Pesan moral dari tulisan saya kali ini adalah jangan pernah abaikan sebuah
peringatan di daerah yang awam bagi kita. Tetap tenang, setenang Mr. Statham
yang bisa menyikapi kelakuan begal tadi dari frame-nya sebagai hal konyol, jadi gak salah kan jika kusebut
Statham, karena saya aman bersamanya dan masih bisa berbagi cerita ini pada
kalian. Hal terpenting adalah selalu bersyukur, bagamaina tidak, jika kawanan
begal tadi merupakan professional mungkin saya tidak disini lagi. Parahnya banyak
surat kabar memberitakan kami dengan sebuah wacana berkonotasi negative
“sepasang muda – mudi…..” Tidaaaaaaaaaaaaaakkk!!!!
Untuk kalian yang belum pernah mampir ke wisata ini,
rencanakan betul perjalanan anda jangan samapai kesialan yang menimpa kami juga
kalian alami. Jika ingin berkendara dengan motor, lebih baik dengan rombongan
di pagi hingga siang hari. Belajar motret aja dulu biar dapet angle pas kalo
udah sampe sana, dan gak terlalu kecewa saat pulang dengan beberapa gambar yang
kalian bawa nantinya. Terakhir, rasanya cukup sekali saja perjalanan saya
kesana yang jelas saya sudah tau seperti apa tempatnya, saatnya kembali
melanjutkan perjalanan yang tertunda.
~END~