Sabtu, 30 April 2016

Peluang Donnarumma Overtake Perin

Badai cedera yang dialami pemain sepakbola merupakan sebuah bencana, namun dapat juga membawa berkah bagi pemain lainnya. Hal ini yang mungkin dirasakan oleh kiper muda AC Milan, Gianluigi Donnarumma. Gagalnya Perin mengamankan satu tempat untuk kiper Azzuri pada Euro 2016 Prancis mendatang akibat cedera lutut, membuka kesempatan bagi Donnarumma.

Pic 1 : Mattia Perin gagal tampil di Euro 2016 akibat cedera lutut

Sebelumnya Mattia Perin telah naik pangkat menjadi kiper pelapis kedua Buffon, menggeser kiper PSG, Salvatore Sirigu. Seiring cedera yang dialami dan membuatnya terdepak dari tim, maka posisi kedua kembali diisi oleh Sirigu. Kini Conte mulai memutar otak untuk mengisi kekosongan kursi ketiga kiper timnas Italia.

Nama Donnarumma disebut-sebut sebagai kandidat kuat, mengingat performa apiknya bersama AC Milan. Sebelumnya kiper kelahiran tahun 1999 ini telah memiliki pengalaman bermain di timnas U-17, dan Maret lalu memulai debutnya dengan timnas U-21. Pada debut tersebut Donnarumma juga mencatatkan rekor menjadi pemain termuda Italia yang berlaga di timnas U-21. Prestasi yang cukup bagus mengingat umurnya yang baru saja genap 17 tahun pada 25 Februari lalu.

Pic 2 : Doonarumma tampil apik dengan AC Milan
Mendengar kabar yang cukup santer terdengar di kalangan sepakbola, Donnarumma sendiri juga menaruh harapan besar pada Conte untuk memanggilnya. “Saya berharap bisa menjadi kiper senior” itulah yang diucapkan pria kelahiran Castellammare di Stabia pada Vivoazzuro beberapa waktu lalu. Meskipun kecil kemungkinan Donnarumma bermain untuk Euro saat dia dipanggil timas, tapi harapan tersebut tak pernah surut dari benaknya.

Pertanyaannya, beranikah Conte mengambil resiko dengan menempatkan Donnarumma sebagai kiper ketiga Azzurri..? Dan siapkah Donnarumma menjawab keraguan fans dan juga pelatih dengan performa apiknya kelak..? Euro 2016 di Prancislah yang akan menjawab.

Pic 3 : Donnarumma siap tempati jabatan kiper ketiga Azzurri

~END~

Hi5tory of Juventus


Pic 1 : Juve ciptakan sejarah Serie A
Where there is a will, there is a way agaknya peribahasa tersebut pantas disematkan pada klub serie A Italia yang baru saja meraih Scudetto pada pekan ke – 35, Juventus. Sederhana saja, kemauan klub asal Turin ini akhirnya membuahkan hasil dengan Scudetto sebanyak 5x secara beruntun. Istimewanya ditahun ini adalah, karena mereka mengawali musim dengan sangat buruk, namun dapat mengakhirinya dengan begitu manis.

Pengamat maupun penikmat sepakbola harus rela menjilat ludah sediri karena telah meremehkan kemampuan Massimiliano Allegri dalam menangani klub papan atas sekelas Juve. Banyak yang memprediksi jika ditahun keduanya menangani Nyonya Tua, Allegri akan terpuruk seperti yang telah dialaminya saat memagang kendali kepelatihan AC Milan. Juventus tak bisa dipandang sebelah mata, karena mereka memiliki skuad yang lebih kompeten dibanding Milan. Jangan pula lupakan apa yang telah ditinggalkan oleh Conte di klub ini cukup membekas, yang tidak dimiliki Milan kala itu, mental juara disetiap nadi pemainnya.

Keraguan akan kemampuan Allegri muncul di pekan pertama serie A bergulir yaitu pada tanggal 23 Agustus 2015. Kala itu Nyonya Tua mendapatkan lawan tangguh di Juventus Arena, Udinese dan benar saja mereka harus menelan kekalahan pertama di kandang musim ini dengan skor 1-0 untuk keunggulan Udinese. Pekan kedua giliran Juve bertandang ke Olympico Stadium, markas Roma yang notabene menjadi kandidat dalam perburuan Scudetto. Awan hitam belum juga beranjak, Juve kembali gagal dan menelan pil pahit dengan skor 2-1.

Performa yang cukup buruk bagi penyandang status juara Serie A musim 2014/2015, karena dalam 10 laga pertama Juve hanya berhasil meraih tiga kemenangan, tiga hasil seri dan lainnya berakhir dengan kekalahan. Kemenangan yang didapatpun juga tidak mudah, saat lawan Genoa Juve diuntungkan dengan gol bunuh diri kiper penggati Perin, Lamanna. Sedangkan gol kedua didapat dari eksekusi Paul Pogba dari titik putih.

Berbekal tekad kuat serta kerja keras dari segenap pemain dan semakin padunya lini per lini, Juve mulai bangkit dan menunjukkan taringnya di kompetisi nomor satu daratan Italia tersebut. Setelah kalah dari Sassuolo di pekan 10, Juve meraih kemenangan demi kemenangan di setiap pekannya, total ada 15 kemenangan yang didapat Juventus secara beruntun. Hanya Bologna yang mampu menghentikan dominasi Juventus, itupun hanya berhasil menahan imbang dengan skor 0-0. Hingga pekan ke 35 kemarin Juve selalu meraih kemenangan sehingga memperlebar jarak dengan pesaing terdekatnya, Napoli.

Keberhasilan Buffon dkk dalam meraih Scudetto musim ini sudah tercium kala mereka menang di kandang Fiorentina, meskipun Napoli yang membuntuti di posisi kedua masih memiliki sisa laga lebih banyak yang belum dimainkan. Gelagat optimis pemain Juve mulai terlihat, saat beberapa pemain mulai mem-posting gambar dan video di akun instagram pribadi seperti yang dilakukan oleh Bonucci, Dybala, Buffon dan beberapa pemain lainnya.

Selebrasi Bonnuci by @bonuccileo19's Instagram 

Pic 2 : Selebrasi Bonnuci

Pic 3 : Selebrasi Dybala beserta punggawa Juventus
Pelangi itu akhirnya muncul setelah tersiar kabar Napoli telah dihempaskan oleh Roma dan akhirnya Juve dipastikan juara musim ini. Dengan catatan 35 pertandingan yang telah dimainkan keduanya, Juve meraih 85 poin dan Napoli 73 poin. Dengan 3 pertandingan sisa jika Napoli menyelesaikan semua dengan kemenangan dan Juve menyelsesaikan dengan kekalahan, maka poin akhirnya hanya 82 poin masih terpaut 3 poin. Jadi apapun yang terjadi dipertandingan sisa, tidak akan mempengaruhi posisi Juventus yang nyaman di puncak klasemen.

Ditengah kemeriahan selebrasi Juventus, terselip kesedihan akibat cedera yang dialami gelandang Juventus Claudio Marchisio. Namun jasa pahlawan Juve ini tidak begitu saja dilupakan oleh punggawa lainnya. Buffon kiper nomor satu di skuad Juventus maupun Italia ini mendedikasikan historis Juve yang pertama untuk pria kelahiran 19 Januari 1986. Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Bonucci dan punggawa lainnya yang merayakan kemenangan tidak terlalu berlebihan. Bonucci bahkan begitu terpukul atas cedera yang dialami Marchisio, karena skuad begitu merasa kehilangan.

Pic 4 : Cedera Marchisio iringi selebrasi Juventus
Dari apa yang telah dialami Juventus di serie A, bisa dijadikan sebagai panutan dalam mengejar dan meraih cita-cita. Tidak ada yang tidak mungkin saat usaha keras yang dilakukan mendapat restu Tuhan untuk mewujudkannya.

~END~

Italia, Layu Sebelum Berkembang

Tuhan memberi cobaan kepada umatnya untuk menguatkan dan sebuah simbol kasih sayang. Begitulah mungkin yang kini dirasakan oleh pelatih Italia, Antonio Conte. Mantan pelatih yang telah memberikan gelar scudetto untuk Juventus ini harus rela kehilangan dua punggawanya sebelum ajang Euro 2016 di Prancis berlangsung. Meskipun skuad resmi belum diumumkan namun absennya pemain ini cukup memberikan beban mental kepada pelatih untuk menemukan solusi tepat bagi strategi permainan Italia kelak.

Pic 1 : Mattia Perin & Claudio Marchisio gagal turut serta Euro 2016 akibat cedera
Claudio Marchisio midfielder Juventus dan juga Mattia Perin kiper muda Genoa yang baru naik pangkat sebagai pelapis kedua Buffon ini harus menepi dari kompetisi sebelum musim berakhir. Cedera yang diderita keduanya hampir sama yaitu gangguan pada lututnya, yang mengharuskan untuk dilakukan operasi. Pemulihan pasca operasi membutuhkan waktu yang cukup panjang, sedangkan pelaksanaan Euro 2016 terhitung hanya kurang dua bulan lagi.

Cedera yang dialami oleh Marchisio didapat saat Juventus menjamu Palermo di pekan ke – 33 Serie A. Kala itu pemain bernomor punggung 8 ini harus ditarik keluar di menit 16 setelah lutut kirinya mengalami benturan dengan gelandang Palermo, Franco Vasquez saat berebut si kulit bundar. Detik itu juga pemain yang sempat menimba ilmu di akademi Juventus sejak tahun 1993 ini, harus ditandu keluar lapangan untuk mendapatkan perawatan intensif.


Pic 2 : Marchisio alami ACL (Anterior Cruciate Ligament)
Kemenangan Juventus menghadapi Palermo kala itu harus dibayar mahal saat tim medis mengumumkan bahwa Marchisio harus menepi lebih awal dari lapangan hijau. Pengumuman tersebut juga sekaligus meruntuhkan semangat pemain berusia 30 tahun ini karena harus mengubur impiannya berlaga di Euro 2016. Belum ada kenangan manis yang diukir Marchisio selain menginjakkan kakinya di final Euro 2012, namun Italia harus gigit jari atas keperkasaan sang lawan kala itu, Spanyol.

Cedera hampir sama dirasakan oleh kiper flamboyan Genoa, Mattia Perin namun di lutut sebelah kanannya. Musim yang cukup buruk bagi kiper kelahiran 10 November 1992 karena dia mengawali dan mengakhiri musim dengan cedera. Ketika awal musim Perin harus absen beberapa laga akibat cedera bahu, kini dia mengakhiri musim lebih cepat dengan cedera lutut atau dikenal dengan istilah ACL (Anterior Cruciate Ligament).

Akibat ceddera yang cukup parah keputusan untuk segera melakukan operasi dipercepat mengingat kondisi Perin yang cukup fit. Pada tanggal 13 April lalu akhirnya Perin menjalani operasinya dengan Profesor pier Paolo Mariani di klinik Villa Stuart. Dan beberapa minggu setelahnya, Perin mulai memulihkan kondisi kakinya dengan sedikit latihan ringan. Cedera ini sekaligus memupuskan harapannya berlaga di Euro 2016, dan kembalinya Perin belum bisa dipastikan mengingat pemulihan fisik untuk cedera ligamen membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kecewa…? Tentu saja hal ini mengecewakan banyak pihak, terutama bagi pemain itu sendiri dan timnas Italia. Sekalipun cedera mereka ini dapat menguntungkan beberapa pihak untuk mengisi kekosongan posisi Marchisio dan Perin. Conte yang paling disibukkan karena dia harus mencari pengganti Perin secepatnya, tersedia beberapa nama namun belum bisa diputuskan sebelum melihat performanya hingga akhir musim.

Lain halnya dengan Marchisio, karena sejauh ini Conte jarang memasukkan namanya dalam skuad Italia yang berlaga dalam kualifikasi Euro maupun friendly match. Beberapa nama pengganti pun juga sudah tersedia, hanya tingga mengatur strategi agar setiap lini dapat bekerjasama dengan padu saat berlaga.

Kekecewaan mendalam juga dirasakan oleh gadis antik bermata lebar asal Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai fans militan Perin. Bukan tanpa sebab, gadis ini merasa kebutuhan akan delusionalnya pada Euro 2016 nanti tidak akan terpuaskan meskipun hanya menyaksikan sang idola di bangku cadangan. Bisa dipastikan hanya akan ada beberapa nama saja yang akan menjadi fokusnya kelak seperti Leonardo Bonucci dan Stephan El Shaarawy.

~END~

Scandal in Belgravia (Sherlock BBC Version – S02E01)

Title : Scandal in Belgravia
Director : Paul McGuigan
Cast : Benedict Cumberbatch, Martin Freeman, Mark Gatiss, Lara Pulver, Una Stubbs, Rupert Graves, Andrew Scott, Louise Brealey
Rating IMDb : 9.5/10
Duration : 89 minutes
Genre : Crime, Drama, Mystery
Country : UK

 
Pic 1 : Sherlock Holmes & Irene Adler
Pertama kali nge-post di blog soal film dan coba menghilangkan kesan kaku dari bahasa yang biasa saya pakai kalo nge-post soal sepakbola. Jika tetap ada bahasa yang terkesan kaku ditengahnya, yaudah sih berarti itu khasnya saya. Dan saya peringatkan review film ini juga terdapat spoiler, jadi buat kalian yang belum nonton (saya yakin sudah semua) dan gak pengen rasa penasarannya hilang mending gak usah baca lanjutannya.

Saya tidak akan membandingkan cara berperan antara Sherlock Holmes movie vs Sherlock Holme BBC yaitu Robert Downey Jr vs Benedict Cumberbatch maupun Irene Adler yaitu Rachel McAdams vs Lara Pulver. Karena karakter mereka mempunyai ciri khas masing-masing yang melekat di benak penggemar.

Oke, film pertama yang akan saya review adalah Scandal in Belgravia yang disutradarai oleh Paul McGuigan. Ini adalah episode pertama dari seri kedua Sherlock Holmes versi BBC. Bagi penikmat film detektif melihat ketegangan dalam penyelesaian kasus sepanjang tayangan ini tidaklah terlihat istimewa. Namun bagi saya yang sangat istimewa disini adalah interaksi antara Sherlock dan wanita kriminal yang diam-diam mencuri hati si detektif, yap Irene Adler.

Di seri sebelumnya Sherlock dikenal sebagai pribadi yang cukup menyebalkan, karena beberapa untaian kalimat yang keluar dari mulutnya selalu membuat kuping lawan bicaranya panas, John Watson telah membuktikannya. Di seri ini Watson sepertinya berada pada puncak kekesalan, dan melampiaskannya. Saat Sherlock memintanya untuk memukul wajah (caper dia mau ketemu sama Irene Adler), tanpa diminta untuk kedua kalinya, Watson langsung menyarangkan pukulan di wajah Sherlock.

Bosan melihat wajah detektif yang begitu datar, coba lihat ekspresinya di episode ini. Wajah terkejutnya saat bertemu Irene Adler pertama kali, that is priceless antara campuran kaget, bingung, mau berhenti akting, sama setengah nafsu. Yah, karena Adler memakai pakaian perangnya di hadapan Sherlock yaitu, telanjang. Masih di scene dengan latar yang sama yaitu kediaman Adler, wajah “tidak terima” Sherlock terlihat saat dirinya dikalahkan Adler hanya dengan sebuah suntikan.

Pic 2 : Irene Adler saat bertemu Sherlock pertama kali
Beranjak ke scene dengan sedikit rasa sentimentil, scene dengan sedikit emosi akibat percikan gairah cinta antara Sherlock dan Adler. Dimana Adler memalsukan kematiannya dan Sherlock seolah mempercayai kebohongan tersebut sebagai sebuah kebenaran. Kesedihan akan kehilangan sesorang begitu tersirat di wajahnya saat Mycroft (kakak Sherlock Holmes) mulai menawarkan sebatang rokok dihadapannya.

Wajah yang dinanti semua penggemar yaitu P E N A S A R A N mulai tampak saat Sherlock memutar otak untuk menemukan password pembuka camera phone milik Adler yang dititipkan pada Sherlock di malam natal. Sherlock hanya memiliki 4 kesempatan. Di kesempatan pertama kode yang dimasukkan 1895, kode tersebut merupakan angka yang tertera di bloh Watson sebagai jumlah viewer. Sherlock merasa angka tersebut sengaja dibuat oleh seseorang sebagai clue, karena jumlah viewer blog yang tiba-tiba berhenti namun nyatanya semua prediksinya salah.

Percobaan kedua adalah saat Sherlock mencoba untuk melihat komponen yang dalam camera phone tersebut dengan melakukan scanning. Dia teringat jika barang tersebut dikirim di flatnya dengan nomor yang tertera di pintu (nomor legendaris) yaitu 221B, namun nyatanya masih salah.

Percobaan ketiga dan ini menjadi scene favorit saya adalah saat bersama Adler, karena keduanya seperti unjuk kebolehan dalam memamerkan kepintarannya. Jargon yang selalu diulang dalam episode ini yaitu “Brainy is the new sexy”. Oh ya Adler kembali muncul dihadapan Sherlock setelah dia ketahuan bahwa dia hanya memalsukan kematiannya. Sherlock memberikan camera phone tersebut pada Adler dan Adlerpun mulai memasukkan kode pembuka, teeeeet kodenya salah. Sherlock pun mengeluarkan camera phone yang asli dan memasukkan kode yang telah dimasukkan oleh Adler (Sherlock ngamatin gerak tangannya Adler doang padahal, tapi dia mah tau Adler mencet tombol mana aja. Sakti mah dia). Namun nyatanya, Adler lebih pintar karena hafal dengan barang miliknya, Adler telah mengetahui bahwa camera phone pertama yang diberikan Sherlock padanya adalah palsu.

Watson yang menyaksikan romansa tersebut seakan muak dan menginterupsi dengan kata “Hamish”. Dua orang yang memiliki IQ diatas rata-rata ini tentunya bingung, dengan perkataan Watson, saat tau apa artinya mereka coba berkelit.

Dan pada akhirnya Sherlock tetap keluar sebagai pemenang (yaiyalah, dia kan pemeran utamanya) setelah Adler coba meremehkan kemampuannya di hadapan Mycroft. Sherlock sadar betul jika Adler begitu menyukai sesuatu hal yang sangat pribadi untuk dijadikan kode pengaman, dan karena camera phone ini dianggap sebagai hidupnya oleh Adler maka dengan mudah Sherlock memecahkan misteri tersebut. Mengingat beberapa waktu yang telah mereka habiskan bersama, Sherlock tau bahwa Adler memiliki ketertarikan berlebih pada dirinya, terbukti saat pupil mata Adler melebar kala berhadapan dengan Sherlock, dan nadi yang berdenyut dua kali lebih cepat saat mereka melakukan skinship. Akhirnya diketahuilah passwordnya adalah I AM SHER LOCKED (yang saya garis bawahi itu yah kodenya).

Pic 3 : Kode pengaman camera phone milik Irene Adler
Namun masalah utama yang dihadapi Sherlock bukan tentang mecahin kode keamanan/password camera phone-nya Adler aja, masih ada yang lebih berat. Nah kalo kalian penasaran (buat yang belum nonton), coba deh langsung ikutin serialnya. Sekalian cari tahu gimana kelanjutan hubungan asmara antara Sherlock Holmes “detective with the funny hat” sama Irene Adler “The Woman – the Dominatrix”. Terutama yang episode ini, karena kalian bakal nemuin sesuatu yang berbeda dari Sherlock Holmes yang biasanya.
~END~

Rabu, 06 April 2016

Mitos Tahun Ketiga Mourinho



Musim kompetisi 2015/2016 mungkin menjadi musim terburuk bagi sang juara bertahan Chelsea FC, pasalnya hingga pekan ke - 32 mereka harus berjuang keras mempertahankan posisi di 10 besar. Bukanlah sebuah prestasi membanggakan mengingat mereka menyandang gelar sebagai juara bertahan dengan beberapa daftar pemain top bersarang di Stamford Bridge.

Hal ini membuktikan keberadaan pemain bintang tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan sebuah prestasi dalam tim besar. Madrid telah membuktikan, pemain kelas wahid dengan banderol tinggi tiap tahun berdatangan untuk memperebutkan posisi utama demi meraih gelar bergengsi. Keinginan tak sejalan dengan kenyataan itulah yang harus dihadapi, 3 tahun Madrid harus puasa gelar La Liga sekalipun banyaknya dana yang harus digelontorkan manajemen untuk membangun tim impian.

Apa yang dialami Chelsea tidaklah lepas dari berkurangnya pemain senior, yah sekali lagi saya akan bertindak subjektif dengan mencantumkan nama Frank Lampard disini. Selain itu mitos mengenai kepelatihan Mourinho juga bisa menjadi pengaruh merosotnya performa Chelsea.

Bisa dilihat dari statistik, Stamford Bridge yang terkenal dengan kesan "angker" dapat dengan mudah ditaklukkan lawan sekelas AFC Bornemouth, yang menyandang nama sebagai tim promosi. Bahkan Crystal Palace pun juga berhasil mengjungkir balikkan Chelsea dihadapan pendukungnya sendiri, yang diperkuat oleh tim utamanya. Praktis, tahun ini Chelsea hanya bisa gigit jari karena harus puasa gelar dari empat kompetisi yang diikuti. Terakhir Chelsea harus terdepak dari kompetisi tertua Inggris, Piala FA setelah menyerah 2-0 dari Everton.

Berbicara mengenai pemain senior, sekarang Chelsea hanya memiliki satu nama tersisa yaitu sang kapten, John Terry. Kembali ke tiga tahun sebelumnya, di setiap lini Chelsea pasti memiliki "penunggu setia". Jangan pernah ragukan barisan penyerangan saat Didier Drogba unjuk kebolehan di hadapan kiper lawan. Lini kedua pun memiliki masternya, pemain dengan IQ setara Einstein yaiu Frank Lampard, tak segan turut menyumbang gol saat lini depan mengalami kebuntuan, sekalipun mencetak gol bukanlah tugas utama seorang midfielder. Di bawah mistar gawang, Petr Cech masih tidak tergantikan meskipun Chelsea telah memulangkan kembali Thibaut Courtois dari Atletico Madrid.

 Perdebatan mulai terjadi, karena disisi lain peremajaan dalam skuad sangatlah diperlukan, mengingat umur para senior telah melewati masa keemasannya. Namun tidak serta merta Chelsea mengeluarkan keputusan untuk mendepak pemain seniornya dalam kurun waktu bersamaan. Memberikan jeda waktu untuk proses adaptasi pemain baru dan calon pemain senior juga diperlukan agar menyeleraskan sebuah strategi.

Berbicara tentang strategi, tak lepas dari peran seorang manajer yang kala itu jabatan kursi panas ini dipegang oleh Jose Mourinho. Nama ini tentunya tak asing bagi para fans, mengingat prestasi yang ditorehkannya di jilid pertama dia menangani Chelsea, yaitu musim 2004/2005.

Kala itu Chelsea harus menanti hampir 50 tahun untuk memperoleh gelar Liga Inggris, keajaiban datang bersama pria Portugal ini yang langsung mempersembahkan gelar Liga Inggris di tahun pertamanya. Bukan hanya musim pertama, di musim kedua pria berjuluk The Special One ini masih ingin memperlihatkan kemampuannya di hadapan para pelatih senior lainnya dengan Chelsea meraih gelar keduanya. Sayangnya keajaiban itu harus terhenti di tahun ketiga, Mourinho harus angkat kaki dari kursi panas kepelatihan Chelsea.


Dari sinilah mitos mengenai kesialan Jose Mourinho di tahun ketiga tercipta. Setelah angkat koper dari tanah Inggris, Mourinho langsung mendapat tawaran dari raksasa Italia, Internazionale Milan atau biasa disebut Inter Milan. Sempat mempersembahkan treble winner untuk Inter Milan, yaitu Scudetto, Liga Champions dan Copa Italia, Bapak dua anak ini kembali menglami kesialan di tahun ketiganya.

Lagi-lagi Mourinho harus angkat kaki dari tim biru Italia, kali ini pendaratan mulus dilakukannya di tanah Spanyol untuk melatih klub yang terkenal sebagai gudang pemain mega bintang, Real Madrid. Bukan Mourinho jika tidak membuat sensasi, kali ini kisruhnya dengan pemain bintang Madrid yaitu Iker Casillas, Raul Gonzales dan Kaka yang sengaja disingkirkannya dari tim utama. Seperti sebelumnya kepemimpinan Mou hanya bertahan dua tahun, karena di tahun ketiga Florentino Perez mendepaknya dengan alasan belum tercapainya misi La Decima (perolehan 10 gelar liga Champions).


CLBK, itulah yang dilakukan Mou dan juga Chelsea setelah pemecatan Mourinho di Real Madrid, mereka mulai menjalin hubungan dengan perjanjian kepemimpinan Mourinho di lapangan hijau tidak akan dicampuri oleh sang pemilik, Roman Abramovich. Hal tersebut hanya sebuah wacana ketika Roman mulai tidak sabar untuk mendapatkan gelar Liga Champions kembali yang hanya satu kali mampir di Stamford Bridge yaitu tahun 2012.

Dari banyaknya peristiwa yang terjadi, sepertinya Mourinho sudah mempelajarinya dengan baik mengenai mitos tahun ketiga yang menimpa dirinya. Dengan kejeniusan otak untuk membuat dirinya benar dan menyelamatkan karirnya, Mou sengaja melakukan "penggembosan" pada skuad Chelsea. Dengan mulai mendepak pemain senior dengan alasan tak lagi masuk strategi atau demi melakukan peremajaan. menjual beberapa pemain yang berjasa dalam meraih gelar Liga Champions.

Itu semua dapat dikaitkan dengan rumor bahwa keinginan terbesar Mourinho adalah melatih musuh bebuyutan Chelsea, Manchester United. Jika tahun depan Mou sepakat melatih MU, maka Chelsea tidaklah menjadi lawan menakutkan lagi baginya karena skuad yang dimiliki Chelsea hanyalah berisi kucing manis yang tidak membuatnya gentar sedikitpun. Mengingat posisi Chelsea yang kini masih berkutat di posisi 10, membuatnya tidak mungkin untuk berlaga di kancah Eropa musim depan. Tentunya sedikit menguntungkan bagi MU meng"eliminasi" tim kuat seperti Chelsea, meskipun presentase pertemua mereka saat di Eropa sangatlah kecil.

Faktor ketiga yang tak boleh dilewatkan begitu saja adalah keberuntungan, terbukti dari susunan klasemen sementara liga Inggris berikut Klasemen sementara EPL 2015/2016

Dua nama yang tak diperhitungkan dapat meraih posisi puncak yaitu Leicester City dan Tottenham Hotspurs menyingkirkan nama beken sekelas Arsenal, Manchester United, Manchester City, Liverpool dan juara bertahan Chelsea. Tahun 2016 ini sepertinya memberikan bukti bahwa bola itu bundar dan apapun bisa terjadi tanpa dugaan. Sekaligus membuka mata penikmat sepakbola bahwa EPL (English Premier League) atau BPL (Barclays Premier League) merupakan liga dengan persaingan ketat.

Jika sudah begini siapa yang akan disalahkan dalam kasus merosotnya performa tim sekaliber Chelsea...?

~END~