Kamis, 31 Mei 2018

Coklat Panasku Telah Hambar



Tulisan kali ini hanyalah sekelumit tentang ungkapan hati yang terasa begitu perih. Aku mengambil sebuah perumpamaan secangkir coklat panas, membayangkan aromanya yang khas dengan kepulan asap semakin menggugah selera untuk mencicipinya. Paduan rasa pahit dan manis coklat tidak akan membuat lidah bosan mengecap.

Semua akan terasa nikmat saat racikannya pas. Begitupula dengan si penikmat yang mampu menentukan kapan saat yang tepat untuk menyesapnya. Saat terlalu panas, minuman tersebut akan melukai indera perasa dan membuatnya mati rasa. Saat coklat panas tak lagi panas, rasanyapun berubah karena manis akan lebih mendominasi. Kemudian rasa mual akan muncul, dan coklat panas tersebut menjadi sampah karena tak menarik lagi.

Sepatutnya, coklat panas dinikmati saat masih terasa hangat di cuaca yang membekukan. Hampir seperti itulah aku memaknai suatu kehidupan, terutama yang ku alami. Jika banyak orang mengibaratkan kopi sebagai hal yang seimbang karena pahit manisnya, aku tetap memilih coklat sebagai pilihan subjektif.

Aku mengangkat salah satu kisah hidupku, memasuki usia seperempat abad Tuhan mengijinkanku untuk menikmati indahnya hari sebagai remaja beranjak dewasa. Sebagai orang baru hal ini tentunya sangat mengejutkan sekalipun sering mendengar cerita dari berbagai pihak. Jujur saja aku hampir tak bisa menikmatinya karena terlalu fokus pada “hal baru yang mengejutkan” tadi.

Perlahan tapi pasti, akupun mulai meraba apa yang diinginkan oleh hati ini. Kebahagiaan, itulah jawabannya. Berhari-hari aku bercermin hanya untuk memastikan, inikah hal yang selalu aku harapkan? Inikah hal yang telah aku nantikan? Inikah jawaban Tuhan tentang apa yang kupanjatkan? Ya? Benarkah jawaban “ya” mewakili seluruh pertanyaan yang diajukan oleh hatiku.

Karena detik selanjutnya hatiku telah meragu, mengetahui sedari awal tentang tebalnya dinding perbedaan. Dan ketidak siapanku yang dapat menjadi bom waktu untuk menghancurkan hati banyak pihak. Sayangnya aku menolak dengan intuisi yang berteriak keras untuk berhenti di tempatku berdiri.

Berbekal rasa simpati dan empati dengan keadaan yang sedang berpihak kepadanya, ingin menjadi seorang sahabat yang ada untuk mendengar segala keluh kesahnya. Ingin menjadi penopang disaat terpuruknya, inginku berhenti di posisi sahabat untuknya. Namun keserakahan yang melingkupi hati membuatku memutuskan untuk melangkahkan kaki lebih jauh.

Manisnya kasih yang ditawarkan membuatku lupa diri, hingga terkadang harus ada seseorang untuk mengingatkan agar aku menapak pada tempatku berpijak. Meskipun begitu aku masih merasakan sebuah ketakutan akan rasa manis tersebut, bukankah hal yang berlebihan dapat menimbulkan kesakitan. Seperti manisnya gula sebagai penyebab utama timbulnya penyakit diabetes. Disitulah aku mulai membatasi diri agar semuanya sesuai dengan kendali.

Perjalanan kami diawali dengan kecanggungan karena saling menyesuaikan satu sama lain. Mencoba saling memahami karakter, demi meredam konflik yang mungkin sewaktu-waktu akan timbul karena banyaknya perbedaan diantara kami. Kemudian timbullah sisi wanita yang bagiku buruk, karena jujur saja aku tidak ingin menggantungkan harapan pada orang lain.

Hal itu disebut dengan manja, namun bukanlah itu wajar dan sebagian pria senang bukan dengan kemanjaan wanitanya. Ya ya ya, asal tidak berlebihan dan membuat pusing kepala. Akupun merasa itu masih pada tahap wajar karena satu hal yang aku pegang “tidak ingin tergantung dengan orang lain.”

Keraguan yang semula menyertai semakin hari semakin terkikis, muncullah benih kepercayaan yang memang penting dalam setiap hubungan. Karena hubungan yang masih kuanggap semu akibat belum sah di mata negara dan Tuhan, maka selalu ada batasan sebagai sebuah peringatan.

Namun pada titik tertentu, kepercayaan yang mulai terbangun semakin lama terkikis kembali. Disaat keadaan berbalik semuanya semakin berubah, ketenangan hati semakin pudar. Janji hanyalah tinggal janji, dan sebuah kilasan untuk menghentikan ini semua dia perlihatkan semakin kentara.

Aku tak sanggup, aku tak mampu dan akupun mengatakan belum siap, tapi karena semuanya telah berubah perasaan menjadi nomor dua dan tak layak lagi dinomorsatukan. Sekalipun aku tetap berpegang pada janji untuk selalu bergandeng tangan dalam keadaan apapun. Keputusan tetap harus dikeluarkan.

Disinilah coklat panasku yang menjadi favorit mulai terasa hambar. Usahaku tak berhenti menambahkannya gula maupun setetes air hangat untuk menjaga kenikmatannya. Aku merasa gagal saat usahaku malah membuat cangkir tersebut lepas dari genggamanku.

Suara pecahannya begitu nyaring terdengar di telingaku bagaikan simfoni hitam. Tak hanya menyakitkan di telinga namun juga hatiku, karena itu cangkir kesayanganku. Sadar akan sesuatu yang sudah pecah tak akan kembali sempurna, akupun mengikhlaskan. Namun aku tak akan berhenti untuk selalu menikmati coklat panas, karena itulah yang kini dapat memberiku ketenangan.

Persoalan cangkir yang telah pecah, jelas aku akan menggantinya di kemudian hari. Kali ini aku akan memilih yang lebih kuat, kuat dalam menahan panas agar coklatku tetap nikmat.

~END~