Tulisan kali
ini hanyalah sekelumit tentang ungkapan hati yang terasa begitu perih. Aku
mengambil sebuah perumpamaan secangkir coklat panas, membayangkan aromanya yang
khas dengan kepulan asap semakin menggugah selera untuk mencicipinya. Paduan
rasa pahit dan manis coklat tidak akan membuat lidah bosan mengecap.
Semua akan
terasa nikmat saat racikannya pas. Begitupula dengan si penikmat yang mampu
menentukan kapan saat yang tepat untuk menyesapnya. Saat terlalu panas, minuman
tersebut akan melukai indera perasa dan membuatnya mati rasa. Saat coklat panas
tak lagi panas, rasanyapun berubah karena manis akan lebih mendominasi.
Kemudian rasa mual akan muncul, dan coklat panas tersebut menjadi sampah karena
tak menarik lagi.
Sepatutnya,
coklat panas dinikmati saat masih terasa hangat di cuaca yang membekukan.
Hampir seperti itulah aku memaknai suatu kehidupan, terutama yang ku alami.
Jika banyak orang mengibaratkan kopi sebagai hal yang seimbang karena pahit
manisnya, aku tetap memilih coklat sebagai pilihan subjektif.
Aku
mengangkat salah satu kisah hidupku, memasuki usia seperempat abad Tuhan
mengijinkanku untuk menikmati indahnya hari sebagai remaja beranjak dewasa.
Sebagai orang baru hal ini tentunya sangat mengejutkan sekalipun sering
mendengar cerita dari berbagai pihak. Jujur saja aku hampir tak bisa
menikmatinya karena terlalu fokus pada “hal baru yang mengejutkan” tadi.
Perlahan tapi
pasti, akupun mulai meraba apa yang diinginkan oleh hati ini. Kebahagiaan,
itulah jawabannya. Berhari-hari aku bercermin hanya untuk memastikan, inikah
hal yang selalu aku harapkan? Inikah hal yang telah aku nantikan? Inikah
jawaban Tuhan tentang apa yang kupanjatkan? Ya? Benarkah jawaban “ya” mewakili
seluruh pertanyaan yang diajukan oleh hatiku.
Karena detik
selanjutnya hatiku telah meragu, mengetahui sedari awal tentang tebalnya
dinding perbedaan. Dan ketidak siapanku yang dapat menjadi bom waktu untuk
menghancurkan hati banyak pihak. Sayangnya aku menolak dengan intuisi yang
berteriak keras untuk berhenti di tempatku berdiri.
Berbekal rasa
simpati dan empati dengan keadaan yang sedang berpihak kepadanya, ingin menjadi
seorang sahabat yang ada untuk mendengar segala keluh kesahnya. Ingin menjadi
penopang disaat terpuruknya, inginku berhenti di posisi sahabat untuknya. Namun
keserakahan yang melingkupi hati membuatku memutuskan untuk melangkahkan kaki
lebih jauh.
Manisnya
kasih yang ditawarkan membuatku lupa diri, hingga terkadang harus ada seseorang
untuk mengingatkan agar aku menapak pada tempatku berpijak. Meskipun begitu aku
masih merasakan sebuah ketakutan akan rasa manis tersebut, bukankah hal yang
berlebihan dapat menimbulkan kesakitan. Seperti manisnya gula sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit diabetes. Disitulah aku mulai membatasi diri agar semuanya
sesuai dengan kendali.
Perjalanan
kami diawali dengan kecanggungan karena saling menyesuaikan satu sama lain.
Mencoba saling memahami karakter, demi meredam konflik yang mungkin
sewaktu-waktu akan timbul karena banyaknya perbedaan diantara kami. Kemudian
timbullah sisi wanita yang bagiku buruk, karena jujur saja aku tidak ingin
menggantungkan harapan pada orang lain.
Hal itu
disebut dengan manja, namun bukanlah itu wajar dan sebagian pria senang bukan
dengan kemanjaan wanitanya. Ya ya ya, asal tidak berlebihan dan membuat pusing
kepala. Akupun merasa itu masih pada tahap wajar karena satu hal yang aku
pegang “tidak ingin tergantung dengan orang lain.”
Keraguan yang
semula menyertai semakin hari semakin terkikis, muncullah benih kepercayaan
yang memang penting dalam setiap hubungan. Karena hubungan yang masih kuanggap
semu akibat belum sah di mata negara dan Tuhan, maka selalu ada batasan sebagai
sebuah peringatan.
Namun pada
titik tertentu, kepercayaan yang mulai terbangun semakin lama terkikis kembali.
Disaat keadaan berbalik semuanya semakin berubah, ketenangan hati semakin
pudar. Janji hanyalah tinggal janji, dan sebuah kilasan untuk menghentikan ini
semua dia perlihatkan semakin kentara.
Aku tak
sanggup, aku tak mampu dan akupun mengatakan belum siap, tapi karena semuanya
telah berubah perasaan menjadi nomor dua dan tak layak lagi dinomorsatukan.
Sekalipun aku tetap berpegang pada janji untuk selalu bergandeng tangan dalam
keadaan apapun. Keputusan tetap harus dikeluarkan.
Disinilah
coklat panasku yang menjadi favorit mulai terasa hambar. Usahaku tak berhenti
menambahkannya gula maupun setetes air hangat untuk menjaga kenikmatannya. Aku
merasa gagal saat usahaku malah membuat cangkir tersebut lepas dari
genggamanku.
Suara
pecahannya begitu nyaring terdengar di telingaku bagaikan simfoni hitam. Tak
hanya menyakitkan di telinga namun juga hatiku, karena itu cangkir
kesayanganku. Sadar akan sesuatu yang sudah pecah tak akan kembali sempurna, akupun
mengikhlaskan. Namun aku tak akan berhenti untuk selalu menikmati coklat panas,
karena itulah yang kini dapat memberiku ketenangan.
Persoalan
cangkir yang telah pecah, jelas aku akan menggantinya di kemudian hari. Kali
ini aku akan memilih yang lebih kuat, kuat dalam menahan panas agar coklatku
tetap nikmat.
~END~