Minggu, 25 September 2016

Sudikah Kau Ku Sebut Sahabat?



Seseorang pernah mengatakan bahwa sahabat adalah sosok saudara yang kita pilih. Tujuh tahun lalu saya melakukan hal tersebut, memilih saudara untuk berjalan bersama di bangku perkuliahan. Takdir Tuhan yang begitu indah mempertemukan saya dengan gadis tambun berkacamata melalui sebuah “lem kertas”. Takdir Tuhan lainnya menuntun saya mengenal gadis bongsor, berkacamata pula sebagai ketua regu kelompok sebelah saya.
 
Pic 1: Foto box setelah pertemanan yang kesekian abad
Tak ada yang pernah tahu rahasia Tuhan dan segala perjalanannya, karena kami selanjutnya berakhir pada kelas paralel yang sama. Si gadis bongsor yang saya panggil Aya memiliki NIM tepat setelah saya, dan memilih peminatan yang sama pula. Bisa dipastikan betapa seringnya saya menghabiskan waktu perkuliahan dengannya karena satu kelas. Kemudian menghabiskan waktu pengerjaan skripsi bersama setelah ditinggal si gadis tambun, Putu.

Meksipun sering terpisah dengan Putu yang memilih peminatan Bisnis, tak membuat hubungan kami renggang. Alasannya adalah, tempat kost Putu yang menjadi sarang kami untuk menanti kuliah selanjutnya, atau untuk markas dalam pemenuhan kebutuhan gizi dalam perut.

Suka duka selalu ada dalam setiap cerita kami, hubungan pertemanan tak selamanya berjalan manis layaknya cerita novel. Pertengakaran, perbedaan prinsip, keluhan satu sama lainnya telah menjadi makanan sehari-hari terutama saat menghadapi ke-hectic-an tugas akhir. Percaya atau tidak ketika konflik dapat diatur sedemikian rupa dengan baik, hubungan akan semakin baik. Ya, kami pada akhirnya mengerti sifat dan karakter setiap pribadi serta mempelajari bagaimana cara treatmentnya.

Phoo si gadis introvert yang kaku dan judes harus berjalan beriringan dengan Putu, si gadis extrovert yang memiliki segudang teman dan paling sabar namun juga paling nyinyir. Dua kepala yang bertemu dengan Aya si gadis yang memiliki jiwa pemimpin tapi memiliki keruwetan yang kadang kurang bisa di nalar pada otak cantiknya. Hubungan pertemanan tidak selamanya mencari kesamaan di dalamnya, percayalah itu sangat membosankan. Kami juga bukan mencari perbedaan, tapi kami ingin adanya keselarasan dimana persamaan dan perbedaan dapat berjalan beriringan selama dalam hal kebaikan.

Saling mengingatkan satu dan lainnya juga perlu, karena sahabat bukanlah yang selalu mengatakan “YA” dengan seluruh pendapat yang saya ucapkan. Bukan pula yang memfasilitasi zona nyaman kita dan malah menjerumuskan kita pada lorong gelap tanpa tujuan. Sangkalan kata “TIDAK” bukan berarti suatu hal untuk memulai konfrontasi, namun kata tersebut dapat memberikan sudut pandang berbeda. Sahabat juga harus memberikan rasa “tidak nyaman” jika kita terlalu lama berada dalam zona nyaman yang menyesatkan.

Perbedaan mengenai keyakinan, bukanlah suatu penghalang karena dengan hal tersebut kami mengetahui serta menerapkan bagaimana melakukan toleransi antar dan antara umat beragama. Mengingat satu momen manis di bulan Ramadhan beberapa tahun lalu, saya menginap di kost Putu (dari nama tahu kan keyakinannya) karena memiliki rencana sahur on the road bersama CISC Malang. Saat itu saya numpang sebelum tiba saat berbuka, tanpa dimintapun Putu sudah menyiapkan sajian buka puasa lengkap mulai takjil dan makanan utama. Saya yang tidak tahu diri, langsung main santap saat Adzan Maghrib berkumandang.

Tidak berhenti sampai disitu, dengan ketidak tahu dirian yang saya miliki, jam 3 pagi Putu juga telah menyiapkan hidangan sahur, dan malah membangunkan saya kala itu. Hingga akhirnya saya tiba di venue sahur on the road CISC Malang selesai Shubuh, dan melewatkan acara sosialnya (berbagi sahur), tapi tidak melewatkan pertandingan Chelseanya. Mungkin terdengar biasa, tak bagi saya itu lebih dari biasa mengingat Putu sering mendapat sebutan babi saat tidur, namun bisa bangun sepagi itu untuk menyiapkan sahur.

Momen kedua menginap adalah saat saya demam ketika mengikuti kuliah malam, para bodyguard (Aya dan Putu) yang bingung menahan saya untuk tetap di Malang dan menginap di kost salah satu diantara mereka, merekapun menyempatkan waktu untuk merawat saya. Pilihan saya menginap jatuh pada Putu, mengingat tempat kost Aya berbayar untuk tamu dan dengan pemikiran kikir lebih baik saya di tempat Putu saja.
Belum lengkap rasanya jika saya tidak menceritakan nama panggilan sayang yang ada disini.

Hal itu bermula dari presentasi pada mata kuliah Interpersonal Communication, kelompok Putu mendapat giliran presentasi dan dia dengan sangat amat terpaksa memakai rok. Maaf bukan berniat rasis, mulut saya yang nyinyir asal aja ngejeplak, “Haaa, kon koyok kapsul” (Haaa, kamu seperti kapsul). Dia yang gak kalah nyinyirnya dengan saya menimpali “Halah timbang kowe kuru koyok puyer” (Halah, daripada kamu kurus mirip puyer). Dengan sisa nama obat yang tersisa yaitu tablet akhirnya disandang oleh anggota yang tersisa yaitu Aya.
Pic 2: Beberpa momen kebersamaan kami
Jangan berpikir berhenti sampai disitu, kecintaan kami pada film warkop juga menjadi cerita sendiri disini. Bukan bermaksud mengikuti tren adanya Warkop DKI Reborn yah, tapi jauh sebelum ini kamu sudah saling melontarkan ejekan ala-ala warkop. Posisi Indro dipegang oleh Aya yang sangat mendukung dari segi postur, kemudian posisi Dono berada di tangan Putu, yang memiliki bentuk bibir serupa (saya gak ngomongin rahang sama offside yah, bibir aja lho). Terakhir sisanya Kasino, yaudah pasti tinggal nama sisa aja sapa yang pegang.

Empat tahun bukanlah waktu panjang bagi saya bersama kalian menjalani pertemanan ini, rasanya ingin selalu menghitung setiap tahunnya tentang apa saja yang telah dilewati. Kegembiraan yang saya rasakan dengan hadirnya manusia seperti kalian membuat saya harus bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena saya tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain dihadapan kalian, bersyukur karena kalian bisa menerima segala keburukan saya, bersyukur karena setiap hari saya bisa belajar untuk berubah menjadi lebih baik tanpa mengubah karakter yang telah melekat.

Kemudian perpisahan menjadi salah satu chapter dalam perjalanan kami, Putu yang pertama meninggalkan Malang setelah dinyatakan lulus kuliah pada 16 Agustus 2013. Melanjutkan hidupnya di pulau Dewata dengan lelaki beruntung bernama Aditya dan kini telah dikaruniai satu putri cantik bernama Thera. Kemudian disusul Aya yang mengejar asa sebagai seorang jurnalis di kota pendidikan lainnya, Yogyakarta. Kota yang telah diimpikannya sejak lama untuk dituju setelah keluar dari Malang.
 
Pic 3 : Wisuda Putu
Pic 4 : Wisuda Aya
Jarak yang terbentang begitu lebar tidak terasa akibat adanya kecanggihan teknologi bernama internet. Ya, kalian tetap ada saat saya membutuhkan meskipun tak dapat menikmati wujudnya tapi saya selalu merasakan kehadiran kalian. Kehadiran yang telah kalian tanamkan, sebagai sebuah pelajaran berharga dalam menyikapi perjuangan.

Tidak akan pernah bosan saya berucap terima kasih atas kebersamaannya selama ini, dan doa selalu kupanjatkan atas apa yang masih terpendam di hati kalian. Tuhan selalu memberikan balasan setimpal bagi kebaikan yang telah kalian bagikan. Perpisahan bukanlah akhir, namun awal untuk kita membentuk sebuah kehidupan baru. Perpisahan hanyalah media untuk kita mempersiapkan diri menjadi lebih baik lagi di pertemuan selanjutnya.

Doaku selalu menyertaimu kawan…

Dan terkahir ijinkan aku meminta sebuah kata YA, atas pertanyaan “Sudikah kalian kusebut sahabat…?”

~never ending story~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar