Seseorang pernah mengatakan bahwa sahabat
adalah sosok saudara yang kita pilih. Tujuh tahun lalu saya melakukan hal
tersebut, memilih saudara untuk berjalan bersama di bangku perkuliahan. Takdir
Tuhan yang begitu indah mempertemukan saya dengan gadis tambun berkacamata
melalui sebuah “lem kertas”. Takdir Tuhan lainnya menuntun saya mengenal gadis
bongsor, berkacamata pula sebagai ketua regu kelompok sebelah saya.
Tak ada yang
pernah tahu rahasia Tuhan dan segala perjalanannya, karena kami selanjutnya
berakhir pada kelas paralel yang sama. Si gadis bongsor yang saya panggil Aya
memiliki NIM tepat setelah saya, dan memilih peminatan yang sama pula. Bisa
dipastikan betapa seringnya saya menghabiskan waktu perkuliahan dengannya
karena satu kelas. Kemudian menghabiskan waktu pengerjaan skripsi bersama
setelah ditinggal si gadis tambun, Putu.
Meksipun
sering terpisah dengan Putu yang memilih peminatan Bisnis, tak membuat hubungan
kami renggang. Alasannya adalah, tempat kost Putu yang menjadi sarang kami
untuk menanti kuliah selanjutnya, atau untuk markas dalam pemenuhan kebutuhan
gizi dalam perut.
Suka duka
selalu ada dalam setiap cerita kami, hubungan pertemanan tak selamanya berjalan
manis layaknya cerita novel. Pertengakaran, perbedaan prinsip, keluhan satu
sama lainnya telah menjadi makanan sehari-hari terutama saat menghadapi ke-hectic-an tugas akhir. Percaya atau
tidak ketika konflik dapat diatur sedemikian rupa dengan baik, hubungan akan
semakin baik. Ya, kami pada akhirnya mengerti sifat dan karakter setiap pribadi
serta mempelajari bagaimana cara treatmentnya.
Phoo si gadis
introvert yang kaku dan judes harus
berjalan beriringan dengan Putu, si gadis extrovert
yang memiliki segudang teman dan paling sabar namun juga paling nyinyir.
Dua kepala yang bertemu dengan Aya si gadis yang memiliki jiwa pemimpin tapi
memiliki keruwetan yang kadang kurang bisa di nalar pada otak cantiknya.
Hubungan pertemanan tidak selamanya mencari kesamaan di dalamnya, percayalah
itu sangat membosankan. Kami juga bukan mencari perbedaan, tapi kami ingin
adanya keselarasan dimana persamaan dan perbedaan dapat berjalan beriringan
selama dalam hal kebaikan.
Saling
mengingatkan satu dan lainnya juga perlu, karena sahabat bukanlah yang selalu
mengatakan “YA” dengan seluruh pendapat yang saya ucapkan. Bukan pula yang
memfasilitasi zona nyaman kita dan malah menjerumuskan kita pada lorong gelap
tanpa tujuan. Sangkalan kata “TIDAK” bukan berarti suatu hal untuk memulai
konfrontasi, namun kata tersebut dapat memberikan sudut pandang berbeda.
Sahabat juga harus memberikan rasa “tidak nyaman” jika kita terlalu lama berada
dalam zona nyaman yang menyesatkan.
Perbedaan
mengenai keyakinan, bukanlah suatu penghalang karena dengan hal tersebut kami
mengetahui serta menerapkan bagaimana melakukan toleransi antar dan antara umat
beragama. Mengingat satu momen manis di bulan Ramadhan beberapa tahun lalu,
saya menginap di kost Putu (dari nama tahu kan keyakinannya) karena memiliki
rencana sahur on the road bersama
CISC Malang. Saat itu saya numpang sebelum tiba saat berbuka, tanpa dimintapun
Putu sudah menyiapkan sajian buka puasa lengkap mulai takjil dan makanan utama.
Saya yang tidak tahu diri, langsung main santap saat Adzan Maghrib
berkumandang.
Tidak
berhenti sampai disitu, dengan ketidak tahu dirian yang saya miliki, jam 3 pagi
Putu juga telah menyiapkan hidangan sahur, dan malah membangunkan saya kala
itu. Hingga akhirnya saya tiba di venue
sahur on the road CISC Malang selesai
Shubuh, dan melewatkan acara sosialnya (berbagi sahur), tapi tidak melewatkan
pertandingan Chelseanya. Mungkin terdengar biasa, tak bagi saya itu lebih dari
biasa mengingat Putu sering mendapat sebutan babi saat tidur, namun bisa bangun
sepagi itu untuk menyiapkan sahur.
Momen kedua
menginap adalah saat saya demam ketika mengikuti kuliah malam, para bodyguard (Aya dan Putu) yang bingung
menahan saya untuk tetap di Malang dan menginap di kost salah satu diantara
mereka, merekapun menyempatkan waktu untuk merawat saya. Pilihan saya menginap
jatuh pada Putu, mengingat tempat kost Aya berbayar untuk tamu dan dengan
pemikiran kikir lebih baik saya di tempat Putu saja.
Belum lengkap
rasanya jika saya tidak menceritakan nama panggilan sayang yang ada disini.
Hal
itu bermula dari presentasi pada mata kuliah Interpersonal Communication, kelompok Putu mendapat giliran
presentasi dan dia dengan sangat amat terpaksa memakai rok. Maaf bukan berniat
rasis, mulut saya yang nyinyir asal aja ngejeplak, “Haaa, kon koyok kapsul”
(Haaa, kamu seperti kapsul). Dia yang gak kalah nyinyirnya dengan saya
menimpali “Halah timbang kowe kuru koyok puyer” (Halah, daripada kamu kurus
mirip puyer). Dengan sisa nama obat yang tersisa yaitu tablet akhirnya
disandang oleh anggota yang tersisa yaitu Aya.
Jangan
berpikir berhenti sampai disitu, kecintaan kami pada film warkop juga menjadi
cerita sendiri disini. Bukan bermaksud mengikuti tren adanya Warkop DKI Reborn
yah, tapi jauh sebelum ini kamu sudah saling melontarkan ejekan ala-ala warkop.
Posisi Indro dipegang oleh Aya yang sangat mendukung dari segi postur, kemudian
posisi Dono berada di tangan Putu, yang memiliki bentuk bibir serupa (saya gak
ngomongin rahang sama offside yah,
bibir aja lho). Terakhir sisanya Kasino, yaudah pasti tinggal nama sisa aja
sapa yang pegang.
Empat tahun
bukanlah waktu panjang bagi saya bersama kalian menjalani pertemanan ini,
rasanya ingin selalu menghitung setiap tahunnya tentang apa saja yang telah
dilewati. Kegembiraan yang saya rasakan dengan hadirnya manusia seperti kalian
membuat saya harus bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena saya tidak perlu
berpura-pura menjadi orang lain dihadapan kalian, bersyukur karena kalian bisa
menerima segala keburukan saya, bersyukur karena setiap hari saya bisa belajar
untuk berubah menjadi lebih baik tanpa mengubah karakter yang telah melekat.
Kemudian
perpisahan menjadi salah satu chapter dalam
perjalanan kami, Putu yang pertama meninggalkan Malang setelah dinyatakan lulus
kuliah pada 16 Agustus 2013. Melanjutkan hidupnya di pulau Dewata dengan lelaki
beruntung bernama Aditya dan kini telah dikaruniai satu putri cantik bernama
Thera. Kemudian disusul Aya yang mengejar asa sebagai seorang jurnalis di kota
pendidikan lainnya, Yogyakarta. Kota yang telah diimpikannya sejak lama untuk
dituju setelah keluar dari Malang.
Jarak yang
terbentang begitu lebar tidak terasa akibat adanya kecanggihan teknologi
bernama internet. Ya, kalian tetap ada saat saya membutuhkan meskipun tak dapat
menikmati wujudnya tapi saya selalu merasakan kehadiran kalian. Kehadiran yang telah
kalian tanamkan, sebagai sebuah pelajaran berharga dalam menyikapi perjuangan.
Tidak akan
pernah bosan saya berucap terima kasih atas kebersamaannya selama ini, dan doa
selalu kupanjatkan atas apa yang masih terpendam di hati kalian. Tuhan selalu
memberikan balasan setimpal bagi kebaikan yang telah kalian bagikan. Perpisahan
bukanlah akhir, namun awal untuk kita membentuk sebuah kehidupan baru.
Perpisahan hanyalah media untuk kita mempersiapkan diri menjadi lebih baik lagi
di pertemuan selanjutnya.
Doaku selalu menyertaimu kawan…
Dan terkahir
ijinkan aku meminta sebuah kata YA, atas pertanyaan “Sudikah kalian kusebut
sahabat…?”
~never ending
story~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar