Jumat, 27 Juni 2014

¼ - nya Aku, Tentang Sepakbola

Entahlah aku harus memulai tulisan ini darimana, hati ini terlalu bimbang untuk menuliskan segala kemalangan dan juga kesedihan yang terjadi sekitar tiga hari yang lalu. Tepatnya pada tanggal 24 Juni 2014, dimana aku menjadi salah satu pagar ayu pada nikahan suadaraku, yah singkatnya dia adalah tanteku. Bukan, bukan kemalangan karena aku harus memaksa wajahku yang terbiasa tanpa make up ini dijejali begitu banyak bedak, eye shadow, eye liner, lipstick atau alat make up lainnya yang aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Tapi itu menjadi salah satu kemalanganku kala itu, aku bukanlah tipe wanita yang gemar mendandani wajah dan memoles wajah dengan ketebalan bedak sekitar 5cm. Tapi itu sebuh kewajiban untuk tampil berbeda dalam sebuah acara sakral pernikahan.

Bukan hanya berhenti pada make up yang membuatku hampir menahan napas selama proses merias akibat begitu banyak jenis bedak yang harus disapukan pada wajahku ini. Sanggul jawa itu juga cukup menyiksaku, dan sampai sekarangpun beratnya terasa masih menggelayut dikepalaku. Bisa kalian bayangkan seberapa besar sanggul jawa yang harus tertempel dibelakang kepalaku yang terlalu sensitif. Iya sensitif, apapun yang terjadi dikepalaku bagian belakang pasti akan membuatnya terasa pening. Sanggul itu terpasang cukup kuat kurang lebih sekitar 7 jam.

Siksaan tak berhenti hanya disitu saja, sekarang urusan kaki. Sadar akan tubuhku yang super mini, dalam artian tidak terlalu tinggi. Jika bicara soal berat badan tidak bisa dikatakan mini juga, karena aku merasa berat badan ini terlalu melebihi standart yang kubuat sendiri. Dengan tingginya badanku, aku harus memakai ganjalan pada kakiku, lebih menyiksanya lagi aku harus menggunakan heels dengan tinggi 12cm, cukuplah menyembunyikan kekuranganku. Namun dampaknya membuat kaki dan badanku cukup pegal untuk menahan keseimbangan tubuh dan juga berat pada kepalaku, yang sedari tadi sudah sering tersangkut pajangan janur kuning pada gerbang.

Oooooh God, sampai kapan penderitaan ini berakhir? Ketika adik tanteku yang menikah ini menghampiriku lebih baik kusebutkan dengan Oom saja, serasa sebuah anugerah menghampiri. Aku minta izin untuk melepaskan segala siksaan ini, beliaupun mengijinkan. Dengan seluruh daya yang ku punya segera kulepaskan sanggul jumbo ini tentunya dengan bantuan ibuku, dan segera mengganti pakaian dengan gayaku dalam acara yang sedikit formal. Yap litle black dress, no black but brown dan dibalut cardigan dari bahan denim, sedikit membuatku lebih nyaman meskipun tetap menggunakan sepatu hak tinggiku itu lagi.

Sekitar pukul 10 aku mulai membereskan diriku yang penuh bedak tebal dan mata yang mulai berair karena terlalu lama memakai bulu mata palsu. Itu sangat menyiksa, bayangkan saja mata ini terasa begitu berat. Sekarang aku tahu, apapun yang palsu itu tidak nyaman. Setelah mendapati diriku yang cukup bersih dari segala sesuatu, kini saatnya memanjakan diri, memanjakan mata lebih tepatnya untuk menyaksikan sepakbola, inilah hiburanku saat ini. Namun ini juga yang menimbulkan kemalanganku selanjutnya.

Aku adalah orang baru di dunia sepakbola, berbeda dengan kakak perempuanku yang mengerti betul tentang sepakbola yang memberikan pengaruh begitu banyak soal dunia sepakbola. Aku baru menyukai dan menikmati tontonan dewasa ini, kenapa dikatakan dewasa? (melihat para pemainnya yang begitu menawan membuatku menjadi wanita dewasa sebelum waktunya) saat saya berumur sekitar 10-11 tahun, yah kira-kira tahun 2000an lah. Sepakbola seakan menghipnotisku, ketika tim favorit menang kesenangan mereka akan terbawa ke kehidupanku, dan saat kalah berhati-hatilah wahai orang terdekatku atas moodku yang tak dapat dikendalikan.

Hal itu pertama kali terjadi saat final Piala Dunia 2002, dimana pertandingan antara Brazil vs Jerman. Kali ini Jerman adalah tim favoritku, namun ternyata mereka harus menelan kekalahan meskipun kiper yang begitu aku idolakan bermain cukup bagus, namun dia tak cukup bagus menghalau tendangan yang berbuah gol dari Ronaldo (bintang Brazil kala itu). Kekalahan 2-0 yang sangat menyakitkan bagiku, terdengar alay memang dan lebih parahnya aku mogok makan karena aku seakan merasakan kesedihan timnas Jerman, aku sendiri bukannya mogok makan sih tapi lebih kepada tidak nafsu makan.

Dan semua yang terjadi padaku ditahun 2002 itu terulang kembali, tepat tiga hari yang lalu kala aku harus menerima kenyataan bahwa Italia harus pulang dengan hanya satu kemenangan di Piala Dunia 2014. Mungkin kalian bingung, siapa sebenarnya tim bola favoritku, untuk urusan klub sudah tertulis jelas di biodataku yap AC. Milan dan Chelsea FC, nantinya akan ada postingan bagaimana bisa aku mengidolakan dua klub tersebut. Untuk urusan timnas, selain Indonesia sebagai anak bangsa harus dan wajib mendukung negara sendiri, aku lebih memilih Italia, Jerman dan Inggris sebagai prioritas.

Italia, aku pernah mendengar dari seruan saudara Italia merupakan tempat atau bisa saya katakan gudang bagi pria-pria berwajah menawan. DAn hal tersebut tertulis juga dalam buku Komunikasi Lintas Budaya karangan Deddy Mulyana, kalo saya tidak salah cover dari buku ini bewarna biru mengatakan "tukang sapu dan supir taksi di Italia sanapun sangatlah tampan cocok untuk dijadikan seorang model". Dengan kata lain, begitu banyaknya makhluk seperti itu berceceran disana. Bicara soal sepakbola, mungkin mereka sangatlah rapi dan solid dalam bertahan, namun tidak untuk timnasnya saat ini.

Jerman, mereka adalah spesialis turnamen, meskipun dalam dekade terakhir belum bisa mempersembahkan trophy internasional tapi permainan mereka sangatlah mengibur. Mulai dari penyerangan, permainan lini tengah yang rapi namun tetap menampilkan permainan yang berani dan cenderung terbuka. Mereka terkenal dengan timnas paling sportif dalam sebuah turnamen, terbukti hanya sedikit kartu kuning maupun merah yang mereka dapatkan. Lihatlah defender kawakan Philipp Lahm, selama karir profesionalnya sebagai bek, tak satupun dia pernah mendapatkan kartu merah. Dia pun mengatakan aku hanya bermain sepakbola, dia tak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sebuah trophy dengan mencederai pemain lawan.

Inggris, apa yang salah dengan Inggris meskipun penampilannya sangat kurang memuaskan dalam turnamen internasional meskipun disisi lain liganya adalah salah satu liga terbaik di dunia. Mengerti tentang luar negeri, Inggrislah yang aku tau. Hal itu bagai tertanam jelas dalam hati seorang anak kecil yang akan mengidolakan Inggris. Banyak yang berpikir Beckham yang membuatku tertarik dengan Inggris, salah. Aku tau Inggris itu adalah Sven-Göran Eriksson, yah dia adalah orang Swedia, namun saya cukup terhibur melihat permainan Inggris kala itu ditangan pria ini.

Kembali kepada topik yang telah melenceng jauh ini, Italia dan juga Inggris berada pada satu grup yaitu grup D. Dua dari favoritku ini tersingkir di babak 32 besar. Itu artinya tak ada hiburan lagi bagiku selain Jerman di Piala Dunia 2014, padahal perjalanan PD di Brasil ini masih kurang setengah bulan lagi. Pedih sangatlah pedih, harus melihat dua tim Amerika Latin dengan salah satu tim yang dihuni makhluk vampire harus lolos 16 besar.

Yang membuat sangatlah menyakitkan adalah, Italia hanya butuh bermain imbang namun mereka kalah dengan skor tipis 1-0. Saya sudah tidak berbicara Inggris karena mereka sudah tidak lolos saat Kosta Rika menang lawan Italia. Sekali lagi hanya butuh bermain imbang, dan Italiapun terpaku akan kata-kata tersebut, mereka seolah tak membangun serangan untuk mendulang poin, hanya mempertahankan kedudukan yang diatas angin. Kedudukan yang saya maksud adalah, bermain imbang mereka menang. Sedangkan Uruguay, bermain dengan penuh semangat memburu poin, apa yang dilakukan Italia ini sangatlah salah, mereka melupakan bermain dengan siapa.

Pict 1: Mattia Perin menghibur Marchisio yang mendapat kartu merah melawan Uruguay
Uruguay memiliki agresivitas cukup tinggi, yah ciri khas tim Amerika latin mungkin, namun Italia hanya bermain apa adanya tanpa memperlihatkan kemampuan mereka yang sesungguhnya lebih dari itu. Uruguay akan menghalalkan segala cara demi lolos, lihatkan ketika Chiellini harus mendapatkan gigitan Suarez. Italia semakin kelimpungan saat harus bermain dengan 10 orang setelah Marchisio dikartu merah dan Veratti ditandu keluar akibat cedera. Selain itu tidak ada pengganti sepadan bagi Pirlo, setelah Montolivo harus dicoret karena cedera.

Pict 2: Montolivo di Casa Milan, absen PD akibat cedera
Setelah kekalahan tersebut, apa yang terjadi dalam hidup saya. Nafsu makan kembali berkurang, sedih itu pasti dan saya juga tidak mengerti daya tahan tubuhpun ikut menurun. Terlalu berlebihan tubuh ini menanggapi kekalahan menyakitkan tersebut. Yang saya sayangkan disini adalah idola saya saja seperti Mattia Perin tidak dapat turun selama 3 pertandingan PD, kalah sainglah sama seniornya Buffon. Bonucci juga baru diturunkan kemaren lawan Uruguay, diakhir pertandinganpun Bonny sapaan akrab Bonucci terlihat menitikkan air matanya T.T

Kesedihan itu cukup berkurang setelah kemenangan yang didapatkan Jerman tadi malam, membuat mereka berada di puncak klasemen grup G setelah mengalahkan USA 1-0. Jerman pun lolos ke babak 16 besar berkat gol tunggal Thomas Muller. Yah, mungkin tinggal Jerman harapan satu-satunya, meskipun keyakinan saya begitu tipis Jerman akan menjuarai turnamen ini. Sepertinya ini adalah tahun tim Amerika Latin, lihat saja daftar dari setiap grup yang lolos, pasti ada nama dari Amerika Latin. Kecuali grup yang memang tidak ada satupun tim Amerika latinnya.

Mungkin cukup sekian dari apa yang saya bicarakan, cukup panjang dan cukup membosankan. Ini hanya cerita pribadi catatan kecil seorang gadis yang kecewa dengan tim favoritnya tidak lolos di babak 16 besar Piala Dunia 2014.

~END~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar